Protected by Copyscape plagiarism checker - duplicate content and unique article detection software.
Belajar memberikan yang terbaik untuk cinta,
meski perih sakit dan menghabiskan sisa asa,
Belajar untuk membuka hati seluas langit
seindah malam dan setulus bintang,
sangat bodoh menjadi orang yang sombong
yang hanya berada dalam pembenaran tanpa logika,
maka aq disini untuk cinta,
mencoba untuk tidak sombong dan tetap miliki cinta

Mengenai Dewi Kunthi - Pewayangan

13:07:00

Bermula dr kesenangan q terhadap kuntilanak, yg kemudian menimbulkan tanya dr seorang sahabat mengenai Kunti dalam pewayangan, akhirnya aq mencari tahu dan dengan suksesnya aq pun kemudian menyukai tokoh ini, ada beberapa karakter dan kisah yg se-enggak2 nya mirip sm kisah2 aq, hehehehe, aseli bukan geer loh..
gambaran umumnya adalah :
Dewi Kunthi adalah wanita yang  telah melahirkan putera pertamanya tanpa suami. Terhadap pendapat-pendapat tersebut Bapak Sujamto menyampaikan sendiri penilaiannya terhadap Dewi Kunthi, bahwasanya Dewi Kunthi adalah seorang wanita yang sangat mulia. Bahwasanya ia melahirkan puteranya tanpa suami adalah karena ia mendapat berkah dari Dewa Surya, yang sama sekali tanpa melalui hubungan badan.

Berikut kisah Lengkapnya...
Kunthi adalah sekar kedhaton (putri raja) mandura, anak Prabu Kuntiboja, yang dalam pewayangan Jawa mempunyai 4 orang anak, yaitu Basudewa (yang menurunkan Baladewa dan Kresna), Dewi Kunthi, Haryaprabu Rukma (paman dan mertua Kresna) dan Raden Ungrasena (ayah Setyaki).

Pada waktu masih gadis remaja, Kunthi sering ditugaskan oleh ayahnya untuk melayani keperluan-keperluan Rsi Druwasa, pendeta istana Mandura dan sahabat ayahnya. Rsi Druwasa amat terkesan dan puas sekali atas layanan-layanan Dewi Kunthi. Dan sebagai seorang pendeta yang telah tinggi tataran ilmunya, ia bisa mengetahui nasib malang yang akan menimpa bakal suami Dewi Kunthi kelak. Kemudian Rsi Druwasa memberikan hadiah kepada Kunthi berupa aji pameling, yaitu sejenis mantra yang dapat digunakan untuk mendatangkan dewa yang dikehendaki; dan dewa yang didatangkan itu akan memberikan anak kepada yang mendatangkannya. Dalam pedalangan, aji ini terkadang disebut pula sebagai Aji Kunta Wekasing Rasa atau nama lain lagi. Dalam Rajagopalachari (1989) disebut sebagai son – giving mantra.

Karena Mahabharata itu berasal dari India, maka ada baiknya kita membuka-buka sumber acuan dari sana. Meskipun di India sendiri juga sudah ada berbagai versi, tetapi setidak-tidaknya itu sudah lebih dekat dari sumbernya. Marilah kita simak kutipan dari Rajagopalachari sebagai berikut :

(dalam buku Bapak Sujamto megutip langsung tulisan tersebut dalam bahasa Inggris, disertai dengan terjemahannya yang diambil dari Mahabharata karya Nyoman S. Pendit, untuk mempersingkat maka yang akan saya tampilkan disini adalah terjemahannya saja)

Ketika Kunti Devi masih merupakan gadis kecil, Resi Durvasa pernah tinggal di rumah ayahnya sebagai tamu dan Kunti Devi melayani rsi tersebut selama satu tahun dengan penuh perhatian, kesabaran dan kebaktian. Resi itu merasa sangat puas akan kebaktian Kunti Devi sehingga ia lalu memberikan mantra suci. Ia berkata : “Apabila engkau hendak memanggil Dewa yang mana saja mantra suci ini akan menolong engkau. Ia akan muncul di hadapanmu dan akan memberi restu agar engkau mempunyai anak yang kebesarannya sama dengan Dia”. Rsi Durvasa memberikan mantra itu kepadanya, karena ia telah meramalkan dengan kekuatan yoginya, bahwasanya Kunti Devi akan menemui nasib yang jelek dengan bakal suaminya di kemudian hari.

Karena ingin tahu dan tidak dapat menahan kesabarannya Kunti Devi lalu berhasrat untuk mencoba sekali-sekali kekuatan serta akibat mantra tersebut dengan jalan secara diam-diam mengulangi mantra itu dengan menyebut nama Dewa Matahari yang dibayangkannya bercahaya-cahanya di sorga. Tiba-tiba langitpun menjadi gelap gulita penuh dengan kabut tebal, dan dari balik kabut itu menculah Dewa Matahari mendekati Kunti Devi yang cantik dan berdiri di dekatnya dengan pandangan kagum dan simpati yang menembus kalbu. Kunti Devi, karena dipengaruhi kekuatan gaib dan penglihatan yang agung serta suci dari tamunya, lalu berkata : Oh Dewa, siapakah gerangan engkau ini?”

Dewa Matahari menjawab : “Wahai Juwita, aku ini adalah matahari. Aku telah ditarik oleh kekuatan gaib mantra yang engkau ucapkan untuk memanggil aku”.

Kunti Devi dengan perasaan sangat kaget dan gembira berkata : “Aku adalah gadis kecil yang masih ada di bawah pengawasan ayahku. Aku belum dan tidak patut untuk menjadi Ibu dan tidak pernah memimpikan hal tersebut. Aku hanya ingin mencoba kekuatan mantra yang telah diberikan oleh Rsi Druvasa. Kembalilah dan maafkanlah kedunguanku yang kekanak-kanakkan ini”. Tetapi Dewa Matahari tidak bisa kembali karena kekuatan gaib mantra itu menahan dia, sedangkan Kunthi Devi merasa cemas setengah mati kalau-kalau kelak dihinakan oleh seluruh dunia. Namun demikian Dewa Matahari meyakinkannya :

“Tidak akan ada hinaan terhadap dirimu, karena setelah melahirkan anakku engkau akan kembali menjadi perawan suci sebagai semula”.

Kunti Devi pun mengandunglah dengan rakhmat Dewa Matahari yang memancarkan cahaya dan memberi hidup kepada dunia. Dan kelahiran suci dari anaknya tibalah seketika itu juga tidak sebagai kelahiran manusia biasa yang dikandung selama kurang lebih sembilan bulan. Kunti Devi melahirkan Karna yang muncul dengan alat persenjataan perang suci serta anting-anting bercahaya-cahaya indah seperti matahari. Karena inilah yang kelak menjadi pahlawan terbesar di dunia. Kunti Devi setelah melahirkan karna menjadi perawan suci lagi akibat dari kekuatan gaib yang diberikan oleh Dewa Matahari.

Dari kutipan tersebut kiranya dapat disimpulkan bahwa pertemuan Kunti dengan Dewa Matahari (atau Bathara Surya dalam pewayangan Jawa) sama sekali tidak mengandung bau-bau asmara, apalagi seks.

Hubungan dengan Bathara Surya-Kunthi adalah proses gaib yang penuh dengan lambang-lambang. Kelahiran Karna adalah kelahiran gaib. Bukan kelahiran biasa. Dan ratio manusia memang tak akan mampu menggapai hal-hal yang bersifat gaib. Ratio memang bukan alat untuk itu. Ratio manusia memang telah berhasil meningkatkan ilmu dan tehnologi ke tingkat yang lumayan seperti sekarang ini dan telah berhasil pula menyingkap misteri alam dengan hukum-hukumnya yang diciptakan oleh Tuhan. Tetapi itu semua barulah sebagian amat kecil dari rahasia ciptaan Tuhan yang Mahabesar ini. (catatan penulis – menurut hemat saya, ratiopun bisa menjangkau hal-hal yang “bersifat gaib”. Kita menyebut gaib, karena kebetulan pengetahuan kita saat ini belum mencapai hal tersebut. Namun, begitu pengetahuan kita sudah mencapainya, hal itu tidak lagi disebut gaib lagi. Sebagai contoh, “hal gaib” yang dimaksud Bapak Sujamto disini, yaitu Dewi Kunti dapat hamil tanpa ada pihak kedua yang membuahi, sekarang hal ini sudah bukan hal gaib lagi. Baru-baru ini seorang ilmuwan wanita dari Australia mengadakan eksperimen melalui tikus. Dengan eksperimen tersebut ia membuktikan bahwa kehamilan dapat terjadi tanpa perlu pihak kedua (sang bapak). Dengan menggunakan unsur-unsur di tubuh si tikus sendiri, tikus tersebut dapat hamil. Namun percobaan ini belum dilakukan terhadap manusia.)

Persoalan lain yang sering memberatkan penilaian orang terhadap Dewi Kunti adalah tentang dilarungnya Karna. Ini yang menimbulkan anggapan bahwa Dewi Kunti itu kejam dan suka menganiaya anak. Anggapan seperti itu adalah keliru. Memang, sebagai seorang gadis remaja, Kunti merasa takut dan kebingungan dengan lahirnya Karna. Tetapi Resi Druwasa menyelesaikan persoalan itu dengan baik. Sebagai seorang pendeta yang berilmu tinggi, ia dapat mengetahui bahwa semua yang terjadi di dunia ini terjadi atas kehendak Tuhan. Manungsa among saderma nglakoni (manusia hanya sekedar menjalani takdir yang telah ditentukan).

Ia tahu bahwa pada saat itu sedang bertapa di tepi sungai Yamuna, seorang raja yang ditangisi oleh istrinya karena telah sekian tahun tak punya anak. Raja itu adalah Prabu Radeya dari Petapralaya. Atas usul Resi Druwasa, Karna dilarung ke sungai Yamuna, karena sesuai dengan takdirnya, Karna itu sudah pinasthi menjadi anak angkat Radeya. Bagi Radeya, bayi yang ditemukannya itu adalah anugrah Tuhan, buah hasil permohonannya yang sungguh-sungguh, selama ia bertapa di tepi sungai Yamuna. Semua kejadian itu tampaknya serba kebetulan. Dalam bahasa Jawa: ndilalah; tetapi sebenarnya di alam ini tidak ada kejadian yang kebetulan. Semua sudah dijalin dan dirancang oleh Perancang Agung, Yang Maha Mengetahui, Gusti Ingkang Maha Wikan. Di mata manusia, semua terjadi menurut hukum sebab dan akibat, atau hukum ngunduh wohing panggawe. Semua akan memperoleh hasil sesuai dengan perbuatannya! Dan kedua dimensi itu selalu bertemu di titik-titik yang telah ditentukan.

Kembali kepada Dewi Kunthi dengan aji pamelingnya. Resi Druwasa memberikan aji tersebut kepada Dewi Kunthi karena ia tahu melalui kemampuan gaibnya, bahwa kelak Kunthi memerlukan aji itu untuk mengatasi kesulitan akibat musibah yang menimpa suaminya. Siapa suami Kunthi dan bagaimana musibah itu?

Setelah menginjak dewasa, Dewi Kunthi sangat termashur kecantikannya dan keluhuran budinya. Banyak raja dan para ksatria yang ingin mempersuntingnya. Singkat kata, setelah suatu melalui sayembara, Kunthi berhasil dipersunting dan menjadi permaisuri Prabu Pandudewanata dari kerajaan Astina. Kemudia Pandu juga mempersunting Dewi Madrim, adik Raden Narasoma dari kerajaan Mandaraka, yang setelah menjadi raja bergelar Prabu Salya.

Pada suatu hari Prabu Pandu berburu ke hutan. Tak lama kemudian dilihatnya sepasang kijang sedang berburu dengan asyiknya. Sebagai pemburu, Prabu Pandu lantar membidikkan panahnya ke arah kijang jantan. Dan bidikan Prabu Pandu memang tidak pernah meleset. Dalam sekejap terdengarlah bunyui lengkingan yang menyayat dan mengharukan. Kijang jantan yang sebenarnya adalah Rsei Kimindana, pendeta yang sedang menyamar dan bercengkerama dengan istrinya itu mati seketika dan lenyap dengan raganya serasa meninggalkan sumpah kepada Pandu sebagai berikut :

“Hai Prabu Pandu, kau raja yang tidak berperikemanusiaan, tak tahu sopan santun. Senang mengganggu ketenteraman orang lain. Oleh karena itu hati-hatilah, di kala engkau sedang bercumbu rayu dengan istrimu, disitulah sampai ajalmu. Kemudian ketahuilah hai Pandu, kau telah membunuh seorang Brahmana tanpa dosa, tunggulah saatnya tiba.”

Tentu saja Pandu amat menyesal dan bersedih hati. Menyesal atas perbuatannya yang tidak hati-hati sehingga merugikan orang lain. Bersedih hati karena dengan kutukan itu berarti seumur hidup ia tak mungkin melakukan hubungan seperti layaknya suami dengan istrinya, yang berarti juga tak mungkin lagi ia memperoleh keturunan.

Merasakan kepedihan suaminya yang amat sangat itu Dewi Kunthi menceritakan kepada Pandu tentang aji pameling pemberian Resi Druwasa. Kemudian Dewi Kunthi mengusulnkan kepada suaminya untuk mengupayakan anak melalui kelahiran-kelahiran gaib atas rakhmat dewa-dewa yang dikehendakinya. Pandu menyetujui usul itu, bahkan menghendaki agar kelahiran gaib itu terjadi pula melalui Dewi Madrim. Maka lahirlah berturut-turut dari rahim Dewi Kunthi : Puntadewa atas rakhmat Sang Hyang Dharma, dewa kebajikan ; kemudian Bima atau Bratasena atau Wekudara atas rahmat Bathara Bayu, dewa angin; dan yang ketiga adalah Arjuna atau Permadi atas rahmat Bathara Endra, dewa angkasa raya, lambing dari sifat yang sempurna dan gagah berani; dan dari Dewi Madrim lahir sekaligus (kembar) Nakula dan Sadewa atas rahmat dewa kembar Aswin. Kelima anak laki-laki itulah yang disebut Pandawa, yang berarti keturunan Pandu.

Syahdan, sebagai seorang laki-laki biasa, Pandu yang memang amat mencintai kedua istrinya itu akhirnya tak dapat membendung hasratnya untuk dapat memadu kasih dengan Dewi Madrim. Dan pada saat itu pula terjadilah apa yang telah dikutukan kepada Pandu oleh Resi Kimindana.

Dari kisah-kisah tadi dan lebih-lebih kisah-kisah kelanjutannya dalam mengasuh kelima anaknya yang telah ditinggal oleh suami dan Dewi Madrim, terbukti bahwa Kunthi adalah profil seorang ibu yang berbudi luhur, penuh kasih sayang kepada anak-anaknya (termasuk kedua anak tirinya) dan kepada sesama, serta tabah dalam menghadapi setiap keadaan, dilandasi sikap yang percaya penuh terhadap keadilan dan kekuasaan Yang Maha Agung.

Demikianlah gambaran sekilas tentang Dewi Kunthi. Pada akhir cerita Bapak Sujamto menyampaikan bahwa beliau tidak menganggap bahwa versi yang ditampilkannya yang paling benar. Banyak memang versi-versi lain yang berbeda-beda. Dan tentu saja kita bebas menentukan pendapat dan pilihan. Namun demikian, dalam hubungan ini beliau mengajak agar kita memilih versi yang mempunyai sumber acuan yang kuat dasarnya dan yang paling bermanfaat bagi khalayak ramai untuk dikembangkan. Apalagi kalau kita ingat bahwa wayang bukanlah sekedar tontonan tapi juga tuntunan.

Sumber : http://www.geocities.com/tirtayatra/wayang_budaya_jawa.htm
Tags: jawa, wayang

0 comments:

Post a Comment

silahkan meninggalkan jejak anda...

Followers

picture of a dreamer

picture of a dreamer
Freena Pipiholic

Lets Follow by

Follow pipiholic on Twitter