Kalau ada satu kondisi yang selalu saya temukan pada orang yang datang dalam konsultasi ataupun sekedar curhat singkat di sela-sela istirahat makan siang adalah kecanduan. Addiction, always. Setiap mereka mengalaminya. Setiap kita. Juga Anda. Maaf, hari ini Anda butuh lebih dari 90 detik untuk menyelesaikan tulisan ini.
Para pecandu, saya melihat mereka ada di mana-mana. Ketika pagi hari saya melihat berita di TV dan koran. Ketika saya membuka inbox e-mail dan SMS. Ketika saya melangkah keluar dari pagar dan berjalan mencari kendaraan umum. Ketika saya berada di antrian kasir belanja. Ketika saya melintasi tempat-tempat peribadatan dengan berbagai jenis simbol agama yang hanya diam dingin membisu.
Ketika saya melangkah di pintu berputar. Ketika saya disapa oleh keramahan senyum para pelayan kafe. Ketika saya bertemu dengan sesama rekan konsultan. Ketika saya masuk ke toilet dan membersihkan tangan di wastafel. Ketika saya duduk di kafetaria dan memandang ke lautan luas manusia di luar sana. Ya mereka tidak pernah mengenal saya, tapi kecanduan di dalam mereka menunjukkan dirinya dengan kedipan menggoda namun gerakan bibir berbisik meminta pertolongan.
Sebuah konflik batin yang selalu menyertai semua pecandu.
Setiap kali memejamkan mata sejenak, saya menemukan wajah lain lagi saat membuka mata yang datang silih berganti melintas di sebelah sini, sebelah sana, depan-belakang, sekeliling saya. Mereka berjalan malang-melintang dengan urusan masing-masing, tanpa pernah terbersit sedikit pun bagaimana konflik dan kesulitan yang mereka hadapi hari itu kemungkinan besar ditimbulkan oleh kebiasaan mencandu yang dilakukan sepanjang hari.
Mereka tidak pernah menyadari bahwa mereka adalah pecandu. Setiap orang melabur dirinya dengan kosmetik-bahagia yang sanggup untuk mengelabui seisi dunia, berpura-pura menjadi seseorang yang sebenarnya bukan, termasuk mengelabui diri selama mungkin dengan ilusi candu itu. Berbagai jenis candu yang mereka pakai untuk menginjeksikan rasa-rasa bahagia, sukses, diterima, kaya, piawai, dimaafkan, bebas, kuat, damai, disayang, berprestasi, menang, berguna, dan puluhan sensasi yang berbeda lainnya.
Tidak ada seorangpun yang mengetahui apa yang mereka rasakan ketika efek candu itu mereda. Bagaimana mereka meregang jiwa yang terasa begitu rapuh, letih dan kesepian. Mereka mengeluarkan jeritan sunyi yang menekan, menusuk di dada, dan mereka harus mengigit bibir untuk menahan kesakitan yang ada. Sekilas mereka bertanya-tanya pada diri sendiri mengapa terus melakukan kefanaan dan kebodohan ini. Namun langsung menguap sirna lagi ketika direndam perasaan malu, rendah dan tertolak, terutama tertolak oleh dirinya sendiri karena teringat bagaimana terakhir kali mereka berjanji tidak akan menghisap candu lagi.
Kenyataan bahwa kini mereka tergolek lemah sendiri di lembah yang gelap itu, untuk kesekian kalinya, semakin menghimpit remuk sisa asa yang masih tersimpan di relung tubuh ringkihnya. Itu sebabnya, sekalipun persis tahu apa yang harus dilakukan, mereka memilih untuk berhenti mencoba berhenti, dan membiarkan diri meluncur jauh lebih dalam dunia candu. Menutup mata, menyerah dan berkata, “Ya sudahlah, ini dunia saya,” namun hanya sekian lama sebelum terbentur dengan suara hati lagi yang memintanya untuk naik ke permukaan untuk mencari bantuan.
Kedipan mata mengoda, dan gerakan bibir berbisik meminta pertolongan.
Saya dapat mengenali mereka dengan sangat mudah. Karena setiap kali saya pulang dan berdiri di depan kaca, saya melihat bayangan mata dan bibir yang sama memandang saya di balik sana.
Ya, saya juga memiliki kecanduan, tidak lebih baik dari siapapun mereka yang saya temui di luar sana. Saya memiliki kecenderungan yang sama seperti Anda dan orang lainnya. Saya diciptakan dengan sistem operasi yang sama rapuhnya seperti seluruh penghuni bumi ini.
Perbedaannya adalah saya memilih untuk mengakuinya dan menghadapinya. Saya menolak untuk merendam diri dengan berbagai candu yang memberi kesenangan, kenyamanan sementara itu. Saya berulang kali berkata bayangan dibalik kaca itu bahwa ia berhak untuk mendapatkan sesuatu yang lebih nyata dari itu. Sesuatu yang saya benar-benar butuhkan, bukan sesuatu yang sekedar saya inginkan. Sebuah kepenuhan, bukannya kepuasan.
Sulit dipercaya bahwa sekalipun bukan hanya saya saja yang menyetujui hal itu, pada realitanya sangat sedikit sekali yang berani bertindak sesuai dengannya. Mereka ada dimana-mana. Kedipan mata yang mengoda, dan gerakan bibir yang memelas. Sulit sekali untuk menggambarkan bagaimana rasa sakit yang saya rasakan setiap kali melihat hal-hal tersebut di wajah setiap orang yang saya temui. Bagaimana kecanduan mereka merusak hidup hari demi hari, bagaimana mereka sebenarnya meminta pertolongan, namun menghardik menepis ketika seseorang mengulurkan tangan untuk mereka.
Sesekali pribadi-pribadi tersebut datang kepada saya atau orang lain yang bisa membantu, biasanya ketika berada di titik terendah dan ingin memperbaiki, tapi sayangnya ketika dihadapkan dengan proses detoksifikasi, mereka menyerah terlalu cepat dan memilih untuk kembali lagi pada godaan candu. Mereka melepaskan hal yang sebenarnya mereka butuhkan, hanya demi hal yang mereka inginkan.
Saya adalah seorang pecandu. Saya mengakuinya. Saya berusaha menanggalkannya satu demi satu setiap hari, dan saya bisa melaluinya. Jadi tidak ada alasan Anda tidak bisa melakukan hal yang sama. Hentikan candu yang memanipulasi hidup Anda seolah-olah indah namun gelap tidak karuan.
Saya harap Anda tidak berpikir bahwa dari tadi saya berbicara tentang alkohol dan obat-obatan psikotropika, karena justru kedua hal itu adalah jenis candu yang paling mudah untuk dikenali maupun ditangani. Saya berbicara tentang kecanduan emosional apapun yang ada di dalam diri Anda. Apapun dan siapapun yang Anda pakai untuk menyibukkan diri, melipur lara, dan membuat seolah-olah Anda bahagia selama beberapa waktu.
Secara esensi, kecanduan adalah keinginan (bukan kebutuhan, karena Anda tidak akan mati jika tidak terpenuhi) akan sebuah obyek atau pengalaman eksternal yang membuat Anda merasa lebih lengkap atau lebih baik. Candu obyek bisa berbentuk benda, jasa, fasilitas dan segala bentuk materi lainnya; sementara candu pengalaman bisa berupa tantangan, kepercayaan, pengakuan, rasa sakit, pujian, penerimaan, dsb.
Siklus mengerikan dari sebuah kecanduan adalah semakin mengkonsumsi candu itu, semakin Anda terjerat ilusi bahagia instan sekaligus diliputi hampa dan ketakutan karena terbayang momen-momen jika sempat kehilangan sumber candu itu.
Luangkan waktu sejenak untuk merefleksikan hal-hal yang menjadi candu bagi Anda. Hal-hal yang Anda begitu melekat, terbiasa, seolah-olah menjadi bagian penting dalam hidup Anda, sehingga merasa tidak bahagia atau mati jika tidak mendapatkannya. Prestasi, pengalaman, kedudukan, penampilan, status, kesibukan, harta benda, kepastian, karir, penghargaan, dsb.
Sadari bahwa seluruh candu itu menjanjikan kepuasan semu yang sangat nikmat tapi tanpa pernah membuat Anda terpenuhkan. Justru sebaliknya, Anda akan selalu dibayangi rasa kekurangan, kebingungan, kesepian, dibawah tekanan dan takut kehilangan.
Berikut, tanamkan pengetahuan yang benar tentang esensi dari apapun kecanduan tersebut: Anda bisa menghindari dan mengendalikannya jika Anda terlebih dahulu memusatkan diri pada hal-hal internal, yakni mengakui diri sendiri, memuji diri sendiri, memberi penghargaan pada diri sendiri, menambah keahlian diri sendiri, dsb agar Anda tidak bergantung pada hal eksternal demi merasa diri berharga.
Terakhir, tidak perlu merasa malu atau takut untuk meminta pertolongan kepada orang lain, tidak peduli seringan apapun gangguan kecanduan Anda. Saya tahu persis Anda merasa malu dan takut dilukai jika membuka diri tentang kelemahan tersebut. Anda akan dihantui perasaan takut setengah mati jika pihak yang menolong Anda akan menyalahgunakan kepercayaan tersebut. Anda mungkin berpikir berkali-kali untuk mundur dan kembali mencari keamanan dibalik candu dan menerima siklus mautnya. Tapi tetap tegarkan hati, beri pujian pada diri sendiri, dan berjalan langkah demi langkah bersama dengan orang yang mengulurkan tangannya untuk Anda.
Salam revolusi cinta,
Lex dePraxis
http://lexdepraxis.wordpress.com/2009/08/29/kecanduan/
Full article